Sandiman Nur Hadi Widodo, Mantan Perampok yang Sukses Hijrah dan Bangun Pondok Pesantren
- oleh adminlendah
- 11 Januari 2020 14:37:34
- 4553 views

LENDAH KULON PROGO, 11/1/2020. Penjara bagi sebagian orang adalah tempat yang menakutkan, karena di sanalah tempat menampung para pelaku kejahatan dari yang ringan sampai yang berat. Namun siapa sangka ternyata tokoh berikut mendapatkan hidayah dan kesadaran menapaki jalan benar justru di penjara bukan di tempat ibadah yang semestinya. Berikut kisah Sandiman Nur Hadi Widodo (57), mantan perampok yang berhasil hijrah dan membangun pondok pesantren Al Ghifari, Pondok Pesantren paling megah di Kapanewon Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta.
Baca juga: Saat dr. Hasto Wardoyo resmikan gedung Al Ghifari
Masa lalu yang kelam dan suram dialami oleh Sandiman Nur Hadi Widodo. Pada masa mudanya pria kelahiran Desa Sidorejo, Kapanewon Lendah, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta 57 tahun silam ini dikenal sebagai perampok yang disegani.
Dunia hitam sudah ia jalani sejak kecil, mulai dari mencuri, merampok, berjudi, mabuk, hingga bermain perempuan. Bahkan saat usianya baru menginjak delapan tahun, anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah mahir bermain judi.
Dia malang melintang memperdalam ilmu kejawen. Dia mendatangi beberapa dukun untuk meminta jimat dan ilmu kanuragan.
“Jimat-jimat ku dulu banyak, sekarang sudah hilang. Yang sudah lalu biarlah menjadi memori,” kata Sandiman seperti dikutip dari okezone.com.
Pada 1980-1982, Sandiman pergi di Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia merampok. Hasil merampok juga dipakai untuk bersenang-senang dengan perempuan nakal, berjudi, dan mabuk. Di usianya yang ke-20 tahun, Sandiman pulang ke kampung halaman untuk menikah.
Dia mempersunting Ngadiyem, tetangganya sendiri. Setelah menikah, namanya menjadi Sandiman Nur Hadi Widodo. Bukannya sembuh, kejahatan Sandiman semakin menggila.
“Setelah nikah kan butuh penghasilan untuk memberi nafkah istri anak, malah semakin membesar,” ucapnya.
Seiring perjalanan waktu, Sandiman disebut-sebut “jenderal” perampok spesialis emas. Dia bersama komplotannya tidak pernah gagal menjarah harta benda di rumah yang dirampok.
Belakangan diketahui, sebelum merampok, ada ritual khusus yang harus dilakukan, seperti menghitung hari dalam kalender Jawa.
“Dari temuan itu ada pantangan. Ada hal yang harus dilakukan, misalnya, hari itu ketemu ‘ciloko’, kalau merampok tidak boleh ke arah itu, kalau tetep merampok, enggak dapat apa-apa sama sekali,” jelasnya.
Perampokan terakhir dilakukan Sandiman bersama komplotan di rumah pedangan emas. Hasilnya, Sandiman cs berhasil menguras perhiasan emas seberat tujuh kilogram. Selain itu, sejumlah uang tunai juga turut digasak.
Polisi pun mencium pelaku merupakan kelompok Sandiman. Satu per satu perampok berhasil ditangkap. Mendengar teman-temannya ditangkap polisi, Sandiman melarikan diri ke Lampung.
Dia meninggalkan istri dan dua anaknya. Bahkan, polisi mengejarnya hingga ke Lampung dengan petunjuk orang yang paling dekat dengan Sandiman.
“Saya digerebek di Lampung, tetapi lolos. Saya pergi melarikan diri ke Riau. Di sana saya ditangkap karena diberitahu istri. Saya divonis empat tahun, masuk Lapas Wirogunan tahun 1995. Ketemu lagi, teman-teman di dalam,” kenangnya.
Selama menjalani masa hukuman, Sandiman coba-coba melakukan salat. Selama hidupnya, ia tidak pernah melaksanakan salat. Dia bahkan tidak tahu bagaimana gerakan salat dan apa yang harus dilakukan.
Baca juga: Ponpen Al Ghifari bangun gedung SMA
Saat berada di penjara, ada beberapa napi lain yang mengajarkan salat. “Mereka juga mengajari saya membaca Alquran,” urainya. Banyak napi yang mengejeknya setelah berusaha bertobat.
“Ini kan perang batin antara iblis dan malaikat. Kalau perampok ya pengikut setan, kalau salat mengukti malaikat. Saat itu saya ditertawakan, tetapi saya diam saja, saya terus belajar ilmu agama Islam di penjara,” jelasnya.
Sandiman sempat dikucilkan oleh keluarganya. “Saat di penjara, istri saya jadi TKW untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anak,” urainya.
Ketr. dr. Hasto Wardoyo saat silaturahmi ke Ponpes Al Ghifari
Dia hanya pasrah dan selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Untuk menghilangkan rasa jemu, Sandiman bercocok taman, seperti menanam ketela pohon, sawi, cabai dan lainnya. Sandiman mengaku mendapat hidayah saat belajar Islam di penjara.
“Sejak lahir, saya sudah Islam, di KTP juga Islam, tetapi sampai besar tidak pernah tahu agama.
Ketulusan Sandiman belajar Agama Islam di penjara tidak pernah goyah meski usianya sudah memasuki 32 tahun.
“Saya belajar membaca Alquran selama tiga bulan, menurut saya sudah fasih. Sejak mempelajari agama Islam saya menjadi tentram, merasa dibahagiakan dalam Islam,” tambahnya.
Sandiman menjalani masa hukuman hanya tiga tahun. Dia mendapatkan remisi total setahun. “Tahun 1998 saya sudah keluar,” jelasnya.
Setelah bebas, Sandiman berdakwah Islam di kampungannya. Dia mengajak para tengangganya untuk salat.
Karena tidak ada masjid, Sandiman mewakafkan seluruh tanah warisan yang diberikan orangtua sebanyak 1.400 persegi untuk membangun Masjid Al Ghifari. Di tanah itu juga berdiri bangunan untuk Pondok Pesantren dan Panti Asuhan Al Ghifari.
Sandiman merintis pondok pesantren yang sebagian diperuntukkan kepada anak yatim sejak 1999. Pada 2000, ponpes dan panti asuhan itu diresmikan.
Pada awalnya Ponpes Al Ghifari memiliki 40 santri tetap dan 48 santri pulang-pergi. Ada enam ustaz yang tinggal di ponpes tersebut. Seluruh santri tidak dipungut biaya. Biaya sekolah para santri tetap menjadi tangung jawab Sandiman.
“Kalau santri kalong usianya sudah banyak. Sebagian besar mereka orang sekitar sini. Sedangkan santri tetap kebanyakan dari luar. Mereka harus sekolah, saya tidak mau mengasuh kalau tidak sekolah. Sudah banyak lulusan Al Ghifari yang bekerja. Sebagian bekerja kepada para donatur,” jelasnya.
Orientasi Ponpes Al Ghifari, lanjut Sandiman, lebih menekankan hidup seimbang kepada para santri. Selain sekolah dan mengaji, santri diajak hidup mandiri tanpa harus menggantungkan hidup kepada orang lain.
Santri juga diberi bekal mengurus tanah-tanah kosong untuk ditanami. Selain itu, santri Al Ghifari juga dilatih beternak kambing.
Ketr. Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung SMAIT Al Ghifari
Saat ini Al Ghifari sudah berkembang pesat, pondok pesantren tersebut telah bertranformasi menjadi lembaga pendidikan yang modern. Selain itu saat ini, Al Ghifari telah memiliki sekolah umum Islam Terpadu mulai tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Penjara dan agama telah merubah Sandiman Nur Hadi Widodo dari seorang penjahat yang disegani menjadi pribadi yang menebar manfaat ke banyak orang. (AWB)
Berikut vidio kisahnya:
Referensi:
jogjainside.com
news.okezone.com